fixmakassar.com – Ibarat kapal yang berlayar di tengah badai, program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini diterpa isu maladministrasi. Ombudsman RI menemukan empat potensi masalah yang bisa menghambat tujuan mulia program ini. Mulai dari honor staf yang telat cair hingga kualitas bahan makanan yang jauh dari harapan.
Yeka Hendra Fatika, Anggota Ombudsman RI, mengungkapkan bahwa proses verifikasi mitra program ini berjalan tanpa kepastian waktu. Keterlambatan pembayaran honorarium staf lapangan juga menjadi perhatian serius. "Di Bogor, misalnya, ahli gizi dan akuntan yang menjadi tulang punggung program, baru menerima hak mereka setelah tiga bulan. Ini tentu bisa memadamkan semangat kerja mereka," ujarnya dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Selasa (30/9/2025).

Di Garut dan Bandung Barat, para relawan yang berjumlah sekitar 50 orang per SPPG mengeluhkan beban kerja yang berat, mulai dari urusan dapur hingga distribusi makanan. Sementara di Belitung, guru terpaksa mengatur distribusi makanan tanpa insentif atau fasilitas yang memadai.
Ombudsman RI juga menyoroti adanya afiliasi sejumlah yayasan dengan jejaring politik. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam penetapan mitra program. Selain itu, lemahnya kompetensi dalam penerapan SOP juga menjadi masalah. Dapur yang tidak menyimpan catatan suhu atau sampel makanan bisa menghambat investigasi jika terjadi keracunan.
Penyimpangan prosedur dalam pengadaan bahan makanan juga menjadi temuan yang mengkhawatirkan. Di Bogor, beras yang diterima tidak sesuai dengan kontrak, dan sayuran busuk ditemukan dalam proses distribusi. "Ini seperti menanam padi, tapi yang tumbuh ilalang. Tujuan baik program ini bisa tercoreng jika masalah ini tidak segera diatasi," tegas Yeka.
Untuk menyelamatkan program MBG dari jurang maladministrasi, Ombudsman RI memberikan sejumlah saran. Pertama, Badan Gizi Nasional (BGN) perlu membangun sistem koordinasi yang efektif antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat. BPOM dan Dinas Kesehatan juga perlu dilibatkan dalam pengawasan keamanan pangan. Pemerintah daerah juga perlu memastikan dukungan distribusi khusus di sekolah dengan honorarium yang memadai.
Kedua, BGN perlu melakukan pembinaan dan pengawasan berkelanjutan terhadap penyelenggaraan MBG oleh SPPG. Pengawasan harus berbasis data, dengan daftar periksa bahan masuk dan penindakan tegas terhadap pemasok yang melanggar spesifikasi.
Ketiga, BGN perlu membuka ruang partisipasi publik, melibatkan lembaga pengawas independen, dan menyediakan dashboard digital yang menampilkan informasi kepatuhan terhadap SOP distribusi secara real-time. Buku Saku Operasional Dapur SPPG juga perlu segera diselesaikan dan diterapkan secara nasional.
Dengan pengawasan yang ketat dan partisipasi aktif dari semua pihak, diharapkan program MBG bisa berjalan sesuai dengan tujuan mulianya, yaitu memberikan makanan bergizi bagi anak-anak Indonesia.






