Berita  

Para Sultan Wajib Pajak Dipanggil DJP: Ada ‘Paradoks’ Terkuak!

Mahadana
Para Sultan Wajib Pajak Dipanggil DJP: Ada 'Paradoks' Terkuak!

fixmakassar.com – Jakarta – Suara lonceng kepatuhan pajak kini bergaung lebih nyaring di kalangan para konglomerat atau High Wealth Individual (HWI). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan belakangan ini gencar memanggil para wajib pajak kelas kakap tersebut. Bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyelaraskan data yang mereka laporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dengan "cermin" data pembanding yang dimiliki pemerintah. Langkah ini, menurut Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto, adalah bagian dari orkestrasi pengawasan dan komunikasi kepatuhan yang rutin, namun dengan sentuhan persuasif.

Bimo menjelaskan, DJP kini memegang "kunci" data yang jauh lebih lengkap dari sebelumnya, termasuk data kepemilikan manfaat (beneficial owner). Ibarat seorang detektif yang menemukan jejak baru, DJP kini memiliki peta yang lebih detail tentang kekayaan para wajib pajak. Namun, ia menyayangkan, sebagian wajib pajak masih merasa otoritas pajak "buta" terhadap data tersebut, sehingga informasi krusial itu seringkali terlewat dari laporan SPT mereka. "Ada banyak sekali sekarang itu data luar biasa untuk benchmarking kepatuhan dari wajib Pajak. Terkadang wajib pajak mungkin merasa kita nggak mempunyai akses terhadap data tersebut sehingga di laporan SPT-nya itu tidak dimasukkan," ungkap Bimo, seperti dikutip fixmakassar.com pada sebuah acara diskusi ‘Meneropong Tax Gap & Efektivitas Tata Kelola Fiskal Sektor Minerba’.

Para Sultan Wajib Pajak Dipanggil DJP: Ada 'Paradoks' Terkuak!
Gambar Istimewa : akcdn.detik.net.id

Fenomena ini, lanjut Bimo, menciptakan sebuah "paradoks fiskal" yang menarik perhatian. Di satu sisi, kelompok berpenghasilan tinggi ini adalah lokomotif ekonomi dengan kemampuan finansial yang besar. Namun, di sisi lain, laporan pajaknya terkadang tidak sejalan dengan realitas kekayaan yang mereka miliki. "Nah kami bisa melihat di situ betapa sebenarnya ada sebuah paradoks. Paradoks di mana seharusnya kebijakan fiskal itu bisa menjadi penyeimbang, bisa menjadi balancer supaya ketimpangan sosial, ketimpangan penghasilan itu bisa terminimalisasi," jelasnya. Ia menambahkan, ini adalah Pekerjaan Rumah (PR) besar, terutama jika berkaca pada kompas moral bangsa, yakni Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 yang mengamanatkan keadilan sosial.

Ikuti Kami di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *