fixmakassar.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai solusi peningkatan gizi anak bangsa, ternyata menyimpan sejumlah "bom waktu". Ombudsman Republik Indonesia (RI) baru-baru ini mengungkap delapan masalah krusial yang menghantui program ini, usai mencuatnya kasus keracunan yang membuat banyak pihak terkejut.
Yeka Hendra Fatika, Anggota Ombudsman RI, menjelaskan bahwa temuan ini adalah hasil kajian cepat setelah merebaknya kasus keracunan. Ibarat gunung es, masalah yang terlihat di permukaan hanyalah sebagian kecil dari persoalan yang lebih besar.

Salah satu masalah yang mencolok adalah jurang pemisah yang lebar antara target dan realisasi. Dari target 82,9 juta penerima hingga tahun 2025, baru 22,7 juta yang terjangkau. Sementara itu, dari target 30.000 Sentra Pangan Pangan Gizi (SPPG), baru 8.450 yang beroperasi. Meski anggaran yang terserap mencapai Rp 13 triliun, angka-angka ini justru mengindikasikan tantangan besar dalam hal skalabilitas dan logistik.
"Ini bukan sekadar angka, tetapi juga memberikan gambaran awal tentang tantangan skalabilitas dan logistik yang harus diperbaiki, sekaligus peluang untuk memperkuat tata kelola agar program ini benar-benar mampu menjangkau seluruh anak bangsa secara lebih merata dan berkeadilan," tegas Yeka dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Selasa (30/9/2025).
Selain itu, maraknya kasus keracunan massal di berbagai daerah menjadi lampu merah yang menyala terang. fixmakassar.com mencatat, sejak Januari hingga September 2025, terjadi sekitar 34 kejadian luar biasa keracunan dengan ribuan korban, mayoritas anak sekolah.
"Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan peringatan bahwa pengawasan mutu, pengolahan, dan distribusi makanan masih memiliki celah yang serius," imbuhnya.
Masalah lainnya meliputi penetapan mitra yayasan dan SPPG yang kurang transparan dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, keterbatasan sumber daya manusia, kualitas bahan baku yang tidak sesuai standar, pengelolaan makanan yang belum konsisten, distribusi makanan yang masih membebani guru, serta sistem pengawasan yang belum terintegrasi.
Ombudsman juga menemukan empat potensi maladministrasi utama, yaitu penundaan berlarut, diskriminasi, ketidakkompetenan, dan penyimpangan prosedur dalam pengadaan bahan. Kasus beras medium yang diterima padahal kontrak menyebut beras premium di Bogor, serta temuan sayuran busuk dan lauk tidak lengkap di sejumlah daerah, menjadi bukti nyata.
"Empat bentuk maladministrasi ini bukan hanya menggambarkan kelemahan tata kelola, tetapi sekaligus menjadi pengingat penting bahwa prinsip pelayanan publik kepastian, akuntabilitas, dan keterbukaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 harus ditegakkan secara konsisten," pungkas Yeka.






