fixmakassar.com – Indonesia baru saja menorehkan tinta emas dalam sejarah perdagangan internasional. Ibarat membuka gerbang harta karun, Indonesia berhasil menyepakati dua perjanjian dagang raksasa, yaitu Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) dengan Uni Eropa dan Indonesia-Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement (ICA-CEPA) dengan Kanada. Kesepakatan ini bukan sekadar jabat tangan, melainkan komitmen untuk memperkuat diplomasi ekonomi, membuka akses pasar seluas samudra, serta menarik investasi dari dua benua.
Momen bersejarah ini ditandai dengan penandatanganan ICA-CEPA yang disaksikan langsung oleh Presiden RI Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Kanada Mark Carney di Ottawa pada Rabu (24/9). Sementara itu, di Bali, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Komisioner Perdagangan dan Keamanan Ekonomi Komisi Eropa MaroÅ¡ Å efÄoviÄ mengumumkan Kesepakatan Substantif IEU-CEPA pada Selasa (23/9).

"Kedua kesepakatan ini adalah bukti nyata bahwa Indonesia tak pernah lelah memperjuangkan kepentingan nasional di tengah pusaran dinamika perdagangan global. Dengan IEU-CEPA dan ICA-CEPA, Indonesia tak hanya memiliki posisi tawar yang lebih kuat, tetapi juga memastikan manfaatnya bisa langsung dirasakan oleh para pelaku usaha dan masyarakat," tegas Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Haryo Limanseto dalam keterangan tertulis, Minggu (28/9/2025).
Pengamat Ekonomi Sunarsip menjelaskan bahwa Uni Eropa adalah mitra dagang utama Indonesia, menyumbang sekitar 10% dari total ekspor nasional. Ekspor Indonesia ke Eropa didominasi oleh komoditas strategis yang menjadi bahan bakar industrialisasi dan kebutuhan pangan di sana, seperti mineral logam untuk industri otomotif, besi dan baja, elektronik, serta produk CPO dan minyak nabati untuk industri biofuel, pangan, dan kosmetik. Dengan IEU-CEPA, ekspor produk-produk unggulan ini diprediksi akan melonjak dan memiliki akses pasar yang lebih luas.
Sunarsip menambahkan, IEU-CEPA akan memperbesar pangsa ekspor Indonesia ke Eropa dan menjadi pasar alternatif yang strategis di tengah ketidakpastian kebijakan tarif dagang global, termasuk dari Amerika Serikat. Kesepakatan ini diharapkan menjadi jangkar di saat permintaan ekspor dari mitra utama lainnya seperti Tiongkok dan India melemah, sehingga menjaga ketahanan dan daya saing ekspor Indonesia dalam jangka panjang.
"IEU-CEPA pada akhirnya akan menjadi sumber penguatan surplus bagi neraca perdagangan kita, yang tentu saja akan memperkuat posisi cadangan devisa kita," jelas Sunarsip.
Pasca-IEU-CEPA, pemerintah perlu merumuskan kebijakan turunan yang mendorong kemitraan antara pelaku usaha besar dan UMKM agar manfaat ekonomi dari perjanjian ini dapat dinikmati secara merata.
Pengajar Universitas Indonesia Firman Kurniawan menilai, pemerintah perlu mengomunikasikan kesepakatan ini secara efektif kepada masyarakat, terutama pelaku UMKM. Informasi yang kompleks harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami.
Di tengah banjir informasi, Firman menekankan bahwa masyarakat akan lebih tertarik pada hal-hal yang berdampak langsung pada kepentingan mereka. "Dalam konteks IEU-CEPA yang merupakan momentum bersejarah setelah perundingan panjang hampir satu dekade, pemerintah harus mengemas pesan komunikasi yang menonjolkan manfaat nyata bagi publik, bahkan hingga pada level sektoral agar peluang ekonomi dari perjanjian tersebut dapat dipahami dan dimanfaatkan secara maksimal," pungkasnya.






