fixmakassar.com – Dunia penerbangan Australia kembali dikejutkan dengan kabar kebocoran data pelanggan maskapai Qantas Airways. Informasi pribadi yang seharusnya aman, kini bagai layangan putus, diterbangkan angin siber ke tangan peretas. Serangan siber yang terjadi pada Juli lalu ini, bak petir di siang bolong, membuat jutaan data sensitif pelanggan terpapar.
Pada Juli lalu, Qantas mengakui bahwa lebih dari satu juta pelanggannya terdampak. Data-data seperti nomor telepon, tanggal lahir, hingga alamat rumah, berhasil diakses oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Ini menjadi salah satu pelanggaran siber terbesar yang menghantam Australia dalam beberapa tahun terakhir.

Selain itu, sekitar empat juta pelanggan lainnya harus gigit jari karena nama dan alamat email mereka juga ikut terkompromikan. Ibarat bom waktu, dampak dari kebocoran data ini bisa sangat merugikan para pelanggan.
Serangan ini menjadi catatan kelam dalam sejarah keamanan siber Australia, mengingatkan pada kasus serupa yang menimpa Optus dan Medibank pada tahun 2022. Pemerintah pun didorong untuk memperketat regulasi terkait ketahanan siber.
Dalam pernyataan resminya, Qantas menegaskan bahwa mereka adalah salah satu dari sekian banyak perusahaan global yang menjadi korban kejahatan siber. "Dengan bantuan tim ahli keamanan siber, kami tengah menyelidiki jenis data apa saja yang termasuk dalam kebocoran ini," ujar Qantas.
Qantas juga telah mengambil langkah hukum dengan memperoleh perintah pengadilan yang melarang pihak manapun untuk mengakses, menampilkan, menyebarkan, atau menggunakan data curian tersebut. Upaya ini diharapkan dapat meminimalisir dampak buruk yang mungkin terjadi.
Menurut laporan Guardian Australia, kelompok peretas yang menamakan diri Scattered Lapsus$ Hunters bertanggung jawab atas insiden ini. Mereka mulai menyebarkan data pelanggan setelah tenggat waktu pembayaran tebusan yang mereka tetapkan berakhir. Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak tentang pentingnya menjaga keamanan data di era digital ini.