fixmakassar.com – Jakarta – Pasar mobil mewah di Tiongkok, yang dulunya adalah ladang emas bagi raksasa otomotif Eropa, kini sedang diterpa badai. Penjualan mobil impor premium seperti Porsche, Aston Martin, Mercedes-Benz, dan BMW anjlok drastis, seolah kehilangan pijakan di tengah gelombang pasang inovasi kendaraan listrik (EV) lokal yang kian perkasa. Ini bukan sekadar penurunan biasa, melainkan sebuah pergeseran seismik yang mengguncang dominasi merek-merek Barat di Negeri Tirai Bambu.
Menurut laporan SCMP pada Minggu (14/12/2025), akar masalahnya sangat jelas: produk-produk EV buatan Tiongkok menawarkan harga yang jauh lebih kompetitif, dilengkapi dengan diskon menggiurkan dan insentif pemerintah. Bayangkan, pembeli mobil lokal bisa mengantongi subsidi tukar tambah hingga 20.000 yuan (sekitar Rp 47,14 juta dengan kurs Rp 2.357/yuan) untuk pembelian EV atau hibrida plug-in. "Orang cenderung membeli mobil entry-level yang lebih murah di mana diskonnya lebih berarti dan mobil-mobil tersebut sebagian besar buatan Tiongkok," ujar Paul Gong, kepala Riset Industri Otomotif China di UBS, seperti dikutip fixmakassar.com.

Namun, bukan hanya soal harga. Angin lesu ekonomi juga turut memperkeruh suasana. Kemerosotan pasar properti yang berkepanjangan telah mengerus daya beli masyarakat, membuat mereka enggan melakukan pembelian besar. Lebih jauh lagi, kalangan atas di Tiongkok kini cenderung menahan diri untuk tidak terlalu memamerkan kekayaan mereka di depan umum, sebuah fenomena yang turut menyumbang pada lesunya permintaan mobil mewah impor. Claire Yuan, direktur peringkat korporat untuk otomotif China di S&P Global Ratings, menegaskan bahwa "perlambatan pertumbuhan ekonomi adalah salah satu pendorong utama di balik melemahnya permintaan mobil premium."
Yuan menjelaskan, pangsa pasar penjualan mobil premium di Tiongkok, yang biasanya berharga di atas 300.000 yuan (sekitar Rp 707 jutaan), sempat melonjak dua kali lipat antara 2017 dan 2023, mencapai sekitar 15% dari total penjualan. Namun, tren itu kini berbalik arah. Pangsa pasar ini merosot menjadi 14% pada 2024 dan terus meluncur ke 13% dalam sembilan bulan pertama 2025. Ini seperti ombak yang tadinya naik, kini mulai surut, menyeret kapal-kapal mewah Eropa ke dasar.
Di sisi lain, produsen Tiongkok, terutama BYD, tampil bak gladiator baru di arena. Mereka jauh lebih agresif dalam inovasi teknologi dibandingkan banyak merek Barat, secara konsisten meluncurkan EV dan hibrida baru dengan harga lebih terjangkau, bahkan di segmen premium. "Produk-produk pabrikan mobil Tiongkok lebih kompetitif dan lebih terjangkau bahkan di segmen premium. Itulah mengapa merek-merek asing ini secara bertahap kehilangan momentum," kata Yuan.
Data dari Asosiasi Produsen Otomotif China menunjukkan, pangsa pasar merek-merek lokal telah meroket hingga hampir 70% dalam 11 bulan pertama tahun ini. Sementara itu, merek Jerman hanya menguasai 12%, Jepang 10%, dan AS nyaris 6%. BYD bahkan telah menyalip Volkswagen sebagai penjual mobil terbesar di China, dan menjadi merek terlaris untuk kendaraan energi baru. Imbasnya terasa pahit bagi para pemain Eropa: penjualan Mercedes-Benz di Tiongkok anjlok 27% pada Juli-September, sementara BMW dan Mini turun 11,2% pada sembilan bulan pertama 2025. Porsche dan Aston Martin juga merasakan tekanan serupa, bahkan Ferrari melaporkan penurunan pengiriman 13% ke China, Hong Kong, dan Taiwan pada periode Januari-September.
Fenomena ini menjadi cermin nyata bahwa lanskap otomotif global sedang bergeser, dengan Tiongkok bukan lagi sekadar pasar konsumen, melainkan pemain kunci yang mendikte arah inovasi dan persaingan. Era baru telah tiba, dan para raksasa Eropa harus beradaptasi atau terancam semakin terpinggirkan di medan perang otomotif paling dinamis di dunia.






